Thursday, July 01, 2004

Polemik Busana Muslimah, Bagaimana Seharusnya?

By Hidayatul Akbar

Saat ini cukup banyak kaum Muslim -- baik awam maupun kaum terpelajar-yang telah terjebak dalam strategi licik yang diterapkan orang-orang kafir musuh Islam. Berbagai cara dan sarana mereka gunakan agar kaum Muslim meninggalkan Islam dan kemudian memeluk ideologi kapitalisme-sekularisme. Merekapun telah mememahami dengan baik bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran maupun hukum-hukum yang lahir darinya.

Mengutip dari buku Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam karya Abdul Qadim Zallum, disebut upaya mereka tersebut antara lain:

(1) Menyesatkan umat Islam melalui media massa.

(2) Memanipulasi pemahaman dan hukum Islam.

(3) Menerapkan peraturan-peraturan kufur dan melegislasi berbagai hukum dan undang-undang untuk menerapkan peraturan kufur itu.

(4) Menjalankan rencana dan skenario guna memusnahkan nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam.

Dalam rangkaian upaya memanipulasi pemahaman dan hukum Islam, mereka berusaha memalingkan makna-makna nash-nash Al Quran dan As Sunnah dengan menggunakan lisan para intelektual dan media massa.

Sengaja penulis ungkapkan ini, setelah mengamati adanya upaya pendistorsian terhadap syariat Islam. Seperti pendapat yang mengatakan kita harus membedakan antara syariat dan fiqih. Syariat bersifat universal sedangkan fiqih adalah hasil interprestasi seseorang terhadap teks-teks syariat yang tentunya banyak dipengaruhi oleh perubahan situasi dan kondisi. Persepsi yang salah terhadap fiqih terus dikembangkan, misalnya fiqih hanya menimbulkan perpecahan karena banyaknya perbedaan hukum di kalangan fuqaha. Bahkan di kalangan aktivis Islam Liberal mereka menyoal karya-karya fiqih klasik dalam pembahasan hubungan muslim dengan non muslim. Fiqih menurut mereka secara implisit dan eksplisit menebarkan kebencian dan kecurigaan pada agama lain.

Padahal kedudukan fiqih amat penting dalam Islam. Fiqih merupakan salah satu cabang yang menonjol dalam pengetahuan Islam dan paling besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Sebab, fiqih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang bersifat amaliy (praktis) yang digali oleh para mujtahid dari sumber-sumber syariat, yang menjawab berbagai problem yang dihadapi masyarakat.

Pendeskreditan terhadap fiqih Islam, akan membuat kaum Muslim berpaling dari fiqih, yang berarti mereka berpaling dari pengkajian hukum Islam, dan ini akan mengakibatkan terjadinya kebodohan terhadap agama Allah SWT. Dan inilah yang memang kemudian terjadi. Sebagai contoh, ada yang mengatakan jilbab adalah pakaian impor dari tradisi Arab, dengan landasan pemikiran bahwa fiqih yang dianut kebanyakan orang adalah fiqih klasik yang bercorak Arab. Fikih klasik merupakan formalisasi dari tradisi-tradisi Arab yang berlangsung hingga datangnya Islam. Misalnya poligami yang sudah menjadi tradisi laki-laki Arab. Ketika Islam datang, maka Islam mengakui tradisi ini dengan memberi batasan maksimal. Demikian juga tentang hukum ghanimah (rampasan perang), diyat (uang darah, tebusan karena pembunuhan), hukuman qishash, hukuman cambuk, hukuman rajam, hukuman potong tangan, kharaj (hukum tanah rampasan), warisan, kepemimpinan kaum laki-laki, hukum perbudakan, penggunaan mata uang dinar dan dirham, khitan, dan termasuk masalah pakaian.

Pendapat di atas jelas keliru, sebab tradisi Arab ataupun tradisi/syariat umat-umat sebelum datangnya Islam bukanlah sumber syariat Islam. Para fuqaha sepakat bahwa sumber syariat Islam adalah Al Quran dan As Sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, berupa ijma' shahabat dan qiyas syar'i. Datangnya Islam bahkan menghapus syariat-syariat sebelumnya, termasuk juga tradisi-tradisi Arab. Sehingga kita memandang syariat Islam sebagai syariat Allah yang disampaikan oleh RasulNya kepada umat manusia untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dimana syariat Islam bersifat universal, tidak dikhususkan untuk orang Arab saja. Kalau tidak, maka apakah kita akan mengganti bacaan shalat kita lantaran bacaan-bacaannya berbahasa Arab?

Tentang ungkapan mereka yang mengatakan bahwa jilbab itu masih menjadi perselisihan di kalangan para ulama apakah ia wajib atau tidak wajib, adalah ungkapan yang salah dan tidak terbukti sama sekali. Jika jilbab dituding sebagai pakaian impor dari budaya Timur Tengah dan pakaian wanita Arab sejak jaman jahiliyah, maka betapa sempitnya pandangan dan cara berpikir seperti ini.

Seandainya mereka mengkaji sejarah budaya wanita Arab sebelum Islam, maka akan mendapatkan bukti-bukti bahwa sebelum kedatangan Islam, kaum wanita mengenakan pakaian yang sangat berlawanan dengan ajaran Islam.

Mereka memang memakai kerudung, tetapi dilipat ke belakang dan bagian depannya menganga lebar, sehingga tampaklah bagian dada, leher dan telinga mereka (lihat Faidhul Qadir, Kumpulan Riwayah Dirayah fii 'Ilmit Tafsir, Imam Syaukani, jilid IV hlm 23 dan Al-Jami'u lil Ahkam, Imam Qurthubi, jilid XII, hlm 230).

Di jaman jahiliyah, apabila mereka hendak keluar rumah untuk mempertontonkan diri di depan khalayak, maka mereka memakai baju dan kerudung (yang tidak sempurna), sehingga tiada bedanya antara wanita merdeka dengan hamba sahaya (Mahasinut Ta'wil, Muhammad Jalaluddin Al Qosimi, jilid XIII hlm 308).

Adapun jilbab yang dikenakan oleh mereka adalah semacam baju yang lebih lebar dari kerudungnya yang tidak dikenakan di atas kepala dan tetap membiarkan bagian dadanya terbuka (Al-Kasysyaf 'an Haqaiqut Tanzil wa 'Ujumul Afawil fi Wujuhit Tanzil, Imam Zamakhsyari, jilid III, hlm. 274).

Bersambung...

No comments: