Oleh Riza Sihbudi
JIKA nama kelompok Al Qaedah pimpinan Usamah bin Ladin mendadak
Begitu populer di seantero dunia setelah terjadi Tragedi 11 September 2001,
Maka nama kelompok Jamaah Islamiyah (JI) menjadi populer setelah Tragedi
12 Oktober 2002 di Legian, Bali.
Al Qaedah dan Bin Ladin, oleh Pemerintah AS dituding sebagai ''dalang
utama'' serangan terhadap simbol-simbol kedigdayaan negara superpower itu,
dan karena itu kini dianggap sebagai musuh utama AS. Sedangkan JI
dituduh oleh Pemerintah Australia - yang warganya menjadi korban terbanyak
di Bali - sebagai ''dalang utama'' pengeboman di kawasan Legian. Oleh berbagai
media massa Barat, JI dianggap sebagai ''cabang'' Al Qaedah di Asia
Tenggara, khususnya Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Hanya sehari setelah terjadi Tragedi 12 Oktober, penguasa Australia
Sudah dapat memastikan bahwa pelaku utamanya adalah kelompok JI. Padahal,
aparat keamanan yang bekerja keras di lapangan masih belum menemukan
bukti-bukti otentik. Ironisnya, hal serupa dinyatakan pula oleh Menhan Matori
Abdul Djalil, yang dalam tiga kesempatan terpisah mengaku sangat yakin
bahwa pelaku pengeboman Legian adalah jaringan Al Qaedah. Padahal, Menko
Polkam SB Yudhoyono berkali-kali menegaskan belum menemukan bukti keterlibatan
Al Qaedah dan JI dalam Tragedi 12 Oktober.
Dalam sidangnya pada 26 Oktober lalu, Dewan Keamanan PBB secara resmi
memasukkan JI sebagai kelompok teroris yang ke-88. Sebab itu, PBB
memerintahkan kepada semua anggotanya untuk:
(1) membekukan seluruh aset JI;
(2) tidak memberikan fasilitas apa pun kepada JI; dan
(3) mencegah JI melakukan transaksi persenjataan.
Resolusi DK PBB No 1267 itu didukung sepenuhnya oleh semua negara
anggotanya. Deplu RI pun termasuk yang mengusulkan kepada PBB agar JI
dimasukkan ke dalam daftar kelompok-kelompok teroris internasional,
kendati Menko Polkam membantahnya. ''Indonesia tidak melakukan langkah
inisiatif untuk mendorong negara-negara atau pihak-pihak lain untuk
mendeklarasikan JI sebagai teroris internasional,'' kata Yudhoyono, 24 Oktober lalu.
Silang pendapat di kalangan petinggi (Menko Polkam, Menhan, Menlu)
itu sebenarnya mencerminkan adanya keraguan di tubuh pemerintahan RI soal
keberadaan dan peranan JI, khususnya dalam kasus Tragedi 12 Oktober,
selain tentu saja mencerminkan tidak adanya koordinasi dan profesionalisme
di kabinet Megawati Soekarnoputri. Yang tampak jelas justru adanya
kepanikan pemerintah kita dalam menghadapi gencarnya tekanan pihak asing,
khususnya AS-Australia-Singapura. Ironisnya, pada saat situasi dalam tubuh
pemerintahannya diliputi kepanikan, sang presiden justru melanglang
buana.Barangkali dia merasa sudah cukup hanya dengan menerbitkan Perpu
Antiterorisme dan dua inpres susulannya.
Silang pendapat soal JI sebenarnya juga tidak hanya muncul di
Kalangan pemerintahan, tetapi juga di kalangan masyarakat (termasuk ormas,
pers,dan para pengamat). Sejumlah tokoh Islam, misalnya, secara tegas
menyatakan bahwa JI sama sekali tidak dikenal di kalangan mainstream
gerakan-gerakan Islam ''radikal'' di Indonesia. Senada dengan itu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menegaskan, nama JI tidak ada dalam daftar organisasi/kelompok
Islam yang diakui keberadaannya di republik ini.
Namun, sebagian media massa dan para pengamat kita meyakini adanya
jaringan JI di Indonesia. Menurut mereka, Abu Bakar Ba'asyir adalah bagian
dari jaringan JI. Padahal, Resolusi 1267 DK PBB itu hanya memunculkan nama
Abdullah Sungkar (alm) sebagai pimpinan JI, sedangkan nama Ba'asyir
sama sekali tidak disebut-sebut.
* * *
Selama pelaku sesungguhnya dari Tragedi Bali belum ditemukan, maka
kontroversi soal JI tampaknya akan terus berlanjut. Skenario
AS-Australia-Singapura sudah jelas terbaca. Bagi mereka, pelaku
Peledakan Legian adalah orang/kelompok muslim, Entah itu JI atau Al Qaedah.
Skenario ini didukung sepenuhnya oleh Dephan dan - kemungkinan besar - Deplu,
BIN, dan Polri serta sejumlah media massa dan para pengamat, yang secara
langsung atau tidak langsung berorientasi atau berafiliasi pada kekuatan-kekuatan
politik sekuler dan pro-AS.
Tujuan mereka pun jelas, yaitu menghambat atau kalau bisa melemahkan
posisi gerakan-gerakan Islam Indonesia yang belakangan makin vokal dalam
menyuarakan sikap mereka, baik dalam konteks penerapan ajaran Islam
maupun penentangan mereka terhadap konspirasi AS-Israel di tingkat global.
Mereka sama sekali menafikan kemungkinan adanya pelaku/aktor lain
dalam kasus pengeboman Legian. Seorang wartawan majalah Time menceritakan
pengalamannya yang menarik. Ketika dia menemukan indikasi keterlibatan
aktor lain dalam kasus Bali, atasannya tidak mau menerima, karena sang bos
hanya mau orang/kelompok muslimlah yang harus dijadikan sebagai tertuduh
utama. Sebab itu, opini harus diarahkan ke kelompok muslim.
Memang, ada perkembangan yang sangat tidak sehat dari arus informasi
dewasa ini, yaitu muncul kecenderungan kuat untuk menjadikan opini sebagai
barang ''bukti material''. Artinya, seorang Abu Bakar Ba'asyir yang belum
tentu bersalah, bisa dijadikan sebagai terdakwa hanya karena gencarnya
informasi dan opini yang sistematis dan terus-menerus yang menyudutkannya.
Padahal,Tragedi 12 Oktober sesungguhnya menyimpan banyak kemungkinan.
Keterlibatan jaringan intelijen asing yang profesional (CIA, Mossad,
M16). misalnya, seharusnya tidak diabaikan begitu saja. Begitu pula
Kemungkinan terlibatnya elemen-elemen (''oknum'') tertentu di tubuh aparat
Intelijen, kepolisian, dan militer kita, serta jaringan sisa-sisa Orde Baru
yang masih kuat. Atau bisa juga, seperti disinyalir beberapa kalangan,
pelaku/aktor utama peledakan bom Bali adalah mereka yang bergelut di dunia hitam,
seperti para mafia narkoba.
Menjadikan Jamaah Islamiyah (yang dalam bahasa kita berarti ''umat
Islam'') sebagai satu-satunya tertuduh dalam kasus Bali, pada hakikatnya sama
saja dengan tindakan menzalimi mayoritas bangsa ini. Atau, jangan-jangan
kita memang sedang kembali ke era 1980-an. ketika rezim Soeharto melakukan
penindasan terhadap gerakan-gerakan Islam, dan (kemudian) juga
terhadap siapa pun yang memperjuangkan demokrasi serta hak-hak asasi manusia.
Wallahu'alam.
- Riza Sihbudi, Wakil Ketua Umum PP Asosiasi Ilmu Politik Indonesia
(AIPI).
(16t)
Ps : Seperti yang dimuatkan dalam sebuah ruangan forum di Indonesia
No comments:
Post a Comment